Jejak Tangan Perempuan pada Sehelai Batik Mangrove


Debur ombak lautan pecah oleh barisan mangrove terdengar di pesisir desa Tungkal I di Jambi. Dahulu laut adalah karib. Kini berubah menjadi ancaman yang menggerus pesisir pantai desa. Perlahan tapi pasti kelangsungan hidup desa pun menjadi taruhannya. Sayangnya meski mulai merasakan dampak kerusakan lingkungan, masyarakat desa seakan tak menyadari apa yang tengah mereka hadapi.

Adalah seorang perempuan aktivis lingkungan, Qorry Oktaviani, yang berusaha menggugah kesadaran masyarakat desa Tungkal I. Kesadaran akan perlunya menjaga lingkungan pantai dan mangrove agar masyarakat desa dapat bertahan hidup.

Qorry Oktaviani dan Hutan Mangrove (dok : Qorry Oktaviani)

Qorry yang juga seorang peneliti lingkungan, memandang mangrove adalah kehidupan dan harapan bagi masyarakat desa.

“Mangrove bagi saya lebih dari sekadar pohon,” ujarnya dengan nada tegas.

Dedikasi dan komitmen Qorry dalam menyelamatkan lingkungan memang tidak diragukan lagi. Langkah besarnya diawali dengan melibatkan komunitas desa untuk merintis pelestarian lingkungan sembari berusaha membangun ekonomi lokal.

Mangrove, Pagar Kehidupan Desa Pesisir

Hutan Mangrove Desa Tungkal I (dok : Qorry Oktaviani)

Bagi masyarakat Desa Tungkal I mangrove merupakan pagar yang melindungi desa dari ganasnya ombak yang menghantam pesisir. Berkat akar-akar mangrove yang kuat mencengkeram tanah berpasir. Seharusnya mangrove menjadi benteng yang kokoh. Namun kini dengan ancaman kerusakan lingkungan, benteng mangrove itu mulai terancam keberadaannya.

Secercah Harapan Baru untuk Desa

Hutan Mangrove di Desa Tungkal I  (dok : Qorry Oktaviani)

Saat pertama menjejakan kaki di Desa Tungkal I, Qorry melihat bahwa masyarakat belum memahami potensi besar ekosistem di lingkungan mereka.

“Mangrove hanya dilihat sebagai objek! Tidak lebih dari itu,” kenangnya. 

Qorry sadar setiap perubahan membutuhkan komitmen melakukan langkah-langkah kecil dengan konsisten. Berbekal diskusi dengan Dinas Perikanan Provinsi Jambi, Qorry disarankan untuk mengangkat proses pembuatan pewarna alami berbahan mangrove.

Ide Qorry membuat pewarna alami dari mangrove awalnya disambut dengan dingin. Namun dengan konsisten dan sabar Qorry dalam setiap pertemuan menjelaskan manfaat mangrove bagi kehidupan desa. Mangrove dalam ekosistem bukan hanya melindungi tetapi juga dapat menjadi sarana meningkatkan kesejahteraan. Pendekatan ini menyadarkan masyarakat desa pesisir akan potensi ekonomi dari mangrove.

Warga sedang melakukan proses menyiapkan batik (dok : Qorry Oktaviani)
Edukasi dan pendekatan dari hati ke warga (dok : Qorry Oktaviani)

Dari sini terbersit gagasan memadukan pelestarian lingkungan dengan seni batik. Saat Qorry mengungkapkan tentang itu, perlahan mulai terlihat jelas bagi masyarakat desa besarnya potensi ekonomi yang timbul dari inisiatif ini.

Qorry memahami bahwa edukasi saja tidak cukup untuk mengubah budaya di masyarakat. Perubahan membutuhkan pendekatan dari hati untuk menumbuhkan kepercayaan di masyarakat. Ia menerapkan pendekatan  dengan melibatkan tokoh masyarakat setempat. Mengadakan diskusi dan membuat simulasi ekonomi sederhana yang mudah dipahami masyarakat. Demi memperlihatkan bagaimana mangrove dapat menjadi sumber penghidupan yang menguntungkan. Proses yang terbukti mampu menyentuh hati para ibu di desa. Menumbuhkan keyakinan kalau menjaga alam mangrove tak hanya tanggung jawab. Namun juga kesempatan untuk masa depan yang lebih baik bagi masyarakat pesisir.

Kebiasaan Lama Berganti Jadi Tradisi Baru

Mengubah perilaku masyarakat yang telah terbentuk bertahun-tahun, Qorry menyadari perlu waktu dan bukti nyata. 

“Perubahan itu butuh waktu dan yang terpenting adalah kepercayaan,” ujarnya. 

Selama tiga minggu, setiap bulan, Qorry melatih, mendampingi, dan mendengarkan keluhan warga. Terutama para ibu yang mulanya skeptis.

Hasil batik Mangrove Pangkal Babu (dok : Qorry Oktaviani)
Qorry bersama ibu-ibu Desa (dok : Qorry Oktaviani)

Pelatihan mulai terlihat hasilnya saat warna alami dari daun dan kulit mangrove muncul pada kain. Dari situ mulai tumbuh kepercayaan para perempuan desa. Percaya kalau usaha ini layak diteruskan. 

“Seperti sulap, Bu!” seru salah seorang ibu dengan mata berbinar. 

Inilah cikal bakal kelahiran kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu. Sebuah simbol gerakan yang membawa harapan baru. Harapan akan taraf hidup yang lebih baik dengan lingkungan yang lebih terjaga. 

Kisah Qorry dan para perempuan desa Tungkal I adalah bukti bagaimana masalah lingkungan bisa dicarikan solusi yang komprehensif dengan melibatkan peranan seluruh anggota masyarakat.

Kembali ke Alam, Kembali pada Batik 

Batik sebagai bagian dari budaya telah menjadi bagian keseharian masyarakat Indonesia. Ada batik tulis nan halus hingga batik cap yang lebih terjangkau. Dari Yogyakarta sampai Lasem. Dari Madura hingga Papua. Setiap kain dan motif batik bercerita tentang asal-usul dan identitas masyarakat setempat.

Di tengah persaingan world, industri batik sudah memiliki foundation teknik pengerjaan yang kuat. Selain tentu pangsa pasar yang luas. Di tengah isu pemanasan world dan lingkungan, batik yang sejak awal proses penciptaannya punya teknik pewarnaan alami, kembali dicari. 

Proses pemotifan pada kain (dok : Qorry Oktaviani)

Di sinilah Qorry melihat celah untuk memadukan budaya dan konservasi. 

“Batik adalah kekayaan budaya kita. Mengintegrasikan pewarna alami dari mangrove membuat batik bukan hanya seni. Tetapi juga pernyataan tentang pentingnya menjaga alam.”

Proses pembuatan batik dengan pewarna alami dari mangrove bukan perkara mudah. Namun, melalui pelatihan serta sejumlah percobaan yang membuahkan warna hijau lembut, merah dan cokelat tanah yang berbeda dari yang dihasilkan pewarna sintetis. 

Dalam pembuatan batik mangrove, setiap langkah perlu tingkat kecermatan tinggi. Mulai dari pemilihan daun yang tepat hingga pengolahannya hingga menjadi pewarna alami yang tidak mudah luntur. 

Dan yang paling penting Qorry serta kelompoknya memastikan bahwa produksi batik mangrove tidak mengganggu keseimbangan ekosistem. Caranya dengan menanam kembali bibit mangrove secara rutin. Sehingga kelestarian alam tetap terjaga meski produksi batik terus berjalan.

Sebagai perempuan muda yang membawa ide baru, Qorry mengajak para perempuan desa mengikuti pelatihan pewarnaan batik alami. Dengan memberikan contoh hasil pewarnaan batik dari daun dan kulit mangrove. Proses yang panjang ini bukan hanya melatih mereka membuat batik. Tetapi juga mengajarkan ketelitian dan kerja sama tim di antara para perempuan desa.

Proses panjang melatih membatik (dok : Qorry Oktaviani)

Namun, menjaga keseimbangan antara produksi batik dan kelestarian alam tetaplah menjadi tantangan tersendiri. Salah satu proses menjaga lingkungan mangrove adalah dengan penanaman kembali secara rutin. 

Hasilnya, kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu membawa warna baru dalam kehidupan perempuan pesisir. Batik mangrove dengan warna alami yang lembut tidak hanya ramah lingkungan. Tetapi juga menambah nilai batik yang punya makna sustainability/berkelanjutan. Selain juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat desa pesisir.

Mengubah Keraguan Jadi Keberhasilan

Goresan warna penuh kehati-hatian (dok : Qorry Oktaviani)

“Masyarakat pada mulanya menganggap saya datang dengan agenda tersembunyi. Bahkan tak sedikit yang menolak kehadiran saya,” ungkap Qorry. Namun, ia tahu bahwa untuk mengubah pandangan, ia harus menunjukkan kegigihan dan komitmen.

Qorry mengenang saat pertama kali tangannya menyentuh helai kain yang direndam pewarna alami dari mangrove.

“Ada rasa was-was. Apakah warna ini akan bertahan?”

Saat lembar kain mengering di bawah terik mentari dan dihembus angin laut, warna hijau lembut dan coklat tanah mulai muncul dan terlihat. Itulah tanda awal sebuah terjadinya perubahan besar di desa Tungkal I.

Dengan kesabaran, pada akhir 2020, terbentuklah kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu. 

Sebelum gerakan ini hadir, perempuan di Desa Tungkal I seringkali hanya punya peran domestik yang membatasi potensi mereka. Selain menghabiskan waktu di rumah. Sebagian juga bekerja sebagai buruh dengan pendapatan yang minim. Pekerjaan perempuan seringkali kurang diapresiasi. Dan peran perempuan desa terbatas pada kegiatan domestik. Sehingga tidak memberi ruang untuk perempuan berkembang.

Pelan tapi pasti, kepercayaan diri para perempuan desa mulai tumbuh dengan lahirnya kelompok Batik Pangkal Babu. Beranggotakan para perempuan desa yang sebelumnya hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga dan mengandalkan upah rendah dari membelah pinang.

Kini mereka berperan aktif dalam menggerakkan roda ekonomi keluarga dan desa. Sehingga mereka mampu mendukung pendidikan anak-anak mereka menjadi lebih baik. 

Batik Mangrove Menghidupkan Kembali Tradisi Pewarnaan Batik Alami

Proses pewarnaan alami dengan mangrove membutuhkan ketelitian dan eksperimen panjang. Karena warna bisa pudar setelah kain dicuci. Namun, kerja keras dalam riset dan penelitian akhirnya membuahkan hasil dengan kualitas warna yang semakin baik.

Hasilnya adalah batik mangrove dengan motif dan warna unik yang tak bisa ditiru oleh pewarna sintetis. Hasilnya nuansa warna hijau lembut dari daun mangrove. Atau cokelat tanah dari kulit mangrove. 

Selain demi meningkatkan kualitas batik mangrove, Qorry bekerja sama dengan peneliti lingkungan untuk memantau dampak jangka panjang dari pengambilan bahan pewarna. 

“Kami mencatat berapa banyak daun dan kulit yang diambil. Serta memastikan penanaman kembali dilakukan setidaknya dua kali setahun,” jelasnya. Ini untuk memastikan bahwa produksi batik tetap selaras dengan kelestarian ekosistem mangrove. Jadi bukan mangrove dipaksa untuk menjadi tanaman industri. Tapi industrial (rumahan dan kecil) yang mengikuti bagaimana perkembangan mangrove bisa tumbuh dan hidup dengan baik. 

“Kami selalu mengingatkan diri bahwa setiap daun yang kita ambil harus digantikan dengan penanaman kembali,” kata Qorry.

Hasil batik dari Mangrove (dok : Instagram Batik Pangkal Babu)
Hasil Batik Mangrove dari pewarna alami (dok : Instagram Batik Pangkal Babu)

Qorry dan kelompoknya juga mulai menggali pemahaman tentang bagaimana sisa-sisa pewarna alami dapat diolah. Serta bagaimana penggunaan bahan alami ini tidak mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove. Qorry berusaha mengajarkan bahwa pendekatan alam yang berkelanjutan selalu memerlukan penyesuaian.

Setiap bulan, kelompok ini menanam setidaknya 100 bibit mangrove di area-area kritis. Berusaha mengembalikan setengah hektar hutan yang sebelumnya gundul. 

Selain itu, limbah pewarna alami dikelola dengan teknik ramah lingkungan untuk menghindari pencemaran. Sistem ini berhasil mengurangi residu kimia hingga 80% demi mendukung komitmen desa terhadap keberlanjutan.

Efek Berantai Batik Mangrove 

Kesuksesan batik mangrove ini akhirnya mulai dikenal di luar desa Tungkal I. Sehingga menarik minat pengunjung dari luar desa. Yang pada akhirnya membantu menghidupi desa dengan kegiatan ekowisata.

Ekowisata berbasis pelestarian lingkungan di desa Tungkal I adalah bagian dari ekosistem ekonomi yang ditumbuhkan oleh batik mangrove.

Kesuksesan gerakan ini adalah bukti kalau pendekatan berkelanjutan membawa manfaat ganda. Menjaga lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dimulai dari peningkatan pendapatan individu dan keluarga, berperan dalam pertumbuhan ekonomi desa secara keseluruhan. Ekowisata telah mengubah wajah desa Tungkal I menjadi lebih mandiri dan sejahtera.

Ekowisata di desa Tungkal I kini menarik rata-rata 150 pengunjung setiap bulan. Mereka tertarik untuk belajar tentang proses pembuatan batik dengan pewarna alami. Hal ini mendorong warga lain untuk membuka usaha kecil seperti warung makan dan toko memento. Sehingga menciptakan rantai ekonomi yang saling menguntungkan.

Usaha Qorry sudah mulai menampakkan hasil nyata. Kelompok Batik Mangrove Pangkal Babu tidak hanya menciptakan peluang kerja bagi perempuan desa, tetapi juga mengangkat kesejahteraan ekonomi keluarga mereka. Pendapatan tambahan dari penjualan batik rata-rata sebesar Rp 200.000 – Rp 500.000 per bulan per anggota telah memungkinkan mereka untuk membantu biaya pendidikan anak-anak, menabung, dan meningkatkan standar hidup keluarga. 

Berdasarkan knowledge yang dikumpulkan oleh Qorry, setelah tiga tahun berjalan, hasil kerja kelompok ini sukses menambah pemasukan ekonomi desa sebesar 25% dari complete pendapatan masyarakat desa.

Jumlah ini berasal dari hasil penjualan batik, wisata edukasi, serta berbagai usaha kecil lain yang muncul berkat efek berantai dari gerakan tersebut. Knowledge ini membuktikan bahwa upaya konservasi ini tidak hanya bersifat idealis tetapi juga realistis secara ekonomi.

Lebih dari 20 keluarga di desa kini menikmati dampak ekonomi dari gerakan ini. Bukti nyata mangrove bukan sekadar pohon biasa. Melainkan sumber daya yang mampu menggerakkan ekonomi desa.

Kolaborasi untuk Keberlanjutan Inovasi

Rasanya mustahil gerakan ini berhasil tanpa dukungan mitra strategis. Partisipasi dalam pameran nasional memperkenalkan batik mangrove karya mereka ke pangsa pasar yang lebih luas. 

Qorry yang meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 kategori individu di bidang UMKM/Kewirausahaan untuk kegiatannya yaitu Konservasi Mangrove dalam Selembar Batik di Provinsi Jambi, bermimpi suatu saat mengangkat Batik Mangrove Pangkal Babu ke pasar internasional sebagai duta konservasi.

Aktif mengikuti pameran untuk mengenalkan produk batik Mangrove
Para ibu bangga mengenalkan produk buatan mereka (dok : Instagram Batik Pangkal Babu)

“Saya ingin dunia melihat, bahwa satu lembar batik ini bukan sekadar kain. Tetapi simbol hubungan yang saling menjaga antara manusia dan alam.”

Program edukasi bagi anak-anak desa pun direncanakan agar mereka memahami pentingnya mangrove sejak usia dini. 

Meski menghadapi tantangan seperti fluktuasi pesanan dan kesulitan teknis, Qorry tetap berusaha tegar dan berkomitmen untuk terus belajar dan berbenah.

Ada kalanya jumlah pesanan menurun. Atau warna yang dihasilkan tidak sesuai harapan. Menghadapi kendala itu Qorry berpandangan, “kami memang tidak sempurna, tetapi setiap hari kami belajar.” 

Proses ini bukan sekadar menghasilkan batik, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan keberanian untuk mencoba.

Gerakan Lokal Rasa World

Gerakan Batik Mangrove Pangkal Babu memiliki kemiripan dengan berbagai proyek konservasi world. 

Di India, komunitas lokal telah lama memanfaatkan pewarna alami untuk tekstil sebagai upaya menjaga lingkungan. 

Di Brasil, konservasi hutan hujan melalui pengembangan produk ramah lingkungan juga memberi dampak positif. 

Pertanda meski gerakan ini berasal dari desa kecil di pesisir Jambi, solusi yang mereka bangun sejalan dengan gerakan serupa di tingkat world. Gerakan yang bermakna common untuk keberlanjutan.

Aktif memberikan edukasi ke warga

Mangrove adalah salah satu bagian penting menghadapi perubahan iklim. Apalagi Indonesia memiliki sekitar 22% dari complete mangrove dunia. Penelitian menunjukkan bahwa mangrove menyerap karbon lima kali lebih banyak dibandingkan hutan tropis.

“Kami yang awalnya ragu, tetapi melihat hasil batik pertama, rasanya seperti mimpi,” kenang Qorry tentang reaksi warga. 

Sekarang gerakan ini berhasil melampaui sekadar produk, ia menjadi simbol pelestarian alam dan inspirasi bagi generasi berikutnya.

Melestarikan Alam, Mewariskan Harapan

Sehelai Batik Dari Desa Pangkal Babu (dok : Instagram Batik Pangkal Babu)

Qorry berharap inisiatif ini menginspirasi generasi muda untuk menjaga dan memanfaatkan alam secara bijak. Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, diharapkan memastikan keberlanjutan program ini. Dengan strategi jangka panjang untuk peningkatan kualitas produk dan rencana kerjasama dengan desainer mode, Qorry bertekad membawa Batik Mangrove Pangkal Babu ke pentas internasional. 

“Kami ingin batik mangrove ini menjadi lebih dari sekadar produk.”

Menyadari pentingnya mengikutsertakan anak-anak dan remaja dalam upaya ini, Qorry menceritakan misinya. 

“Kami ingin generasi berikutnya tidak hanya mewarisi tanah ini, tetapi juga memahami pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam.” 

Anak-anak desa belajar bahwa setiap lembar batik yang dihasilkan membawa cerita perjuangan dan kisah keberanian serta harapan untuk masa depan yang lebih baik.

Selain keterampilan membuat batik, generasi muda didorong untuk berinovasi dalam mempromosikan produk desa melalui platform digital dan media sosial, menghubungkan mereka dengan dunia luar untuk membuka peluang baru. Upaya ini bertujuan untuk memastikan bahwa warisan dan tradisi baru yang ditekuni tidak akan pudar.  Melainkan terus berkembang dengan dukungan anak-anak muda yang kreatif dan berdaya.

Dengan program berkelanjutan ini, Desa Tungkal I menyiapkan generasi muda yang tidak hanya menjadi saksi atas pelestarian mangrove, tetapi juga pelaku utama dalam melanjutkan warisan budaya dan ekonomi yang berkelanjutan.

Selembar batik mangrove kini menjadi simbol keberanian, harapan, serta pengingat bahwa melestarikan alam adalah investasi masa depan.

Dalam setiap celupan pewarna alami mangrove pada kain, ada kisah ketekunan, cinta pada alam, dan semangat yang tak pernah padam. Dalam selembar batik mangrove terungkap doa dan harapan warga desa Tungkal I.

***

Artikel ini digunakan untuk mengikuti lomba Anugerah Pewarta Astra 2024.

Referensi :

  • Wawancara on-line bersama Qorry Oktaviani.
  • Sumber foto langsung dari Qorry Oktaviani.
  • Media Sosial (Instagram) Qorry Oktaviani : https://www.instagram.com/qorryoktaviani03/
  • Media Sosial (Instagram) Hutan Mangrove Pangkal Babu : https://www.instagram.com/hutanmangrove_pangkalbabu/
  • Media Sosial (Instagram) Batik Pangkal Babu : https://www.instagram.com/batikpangkalbabu/
  • E-Booklet Penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2023
  • RENSTRA KLHK TAHUN 2020 – 2024 (https://www.menlhk.go.id/work-plan/renstra-klhk-tahun-2020-2024/)
  • Mangrove Forests and Coastal Safety” oleh Giri et al., dalam Proceedings of the Nationwide Academy of Sciences (https://www.researchgate.internet/publication/279176999_Mangrove_Forests_for_Coastal_Protection_in_a_Changing_Climate)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *